konflik hati sya syaa😐

 Ada hari-hari di mana aku merasa dia adalah

satu-satunya yang bisa membuatku tertawa lepas,

membuat dunia yang berat ini terasa sedikit lebih ringan.

Tapi ada juga hari-hari ketika aku bertanya dalam hati,

*“Apakah aku salah jika memilih bertahan?”* Perasaan

itu seperti gelombang pasang yang datang tanpa permisi.

Kadang aku ingin tetap di sini, merasakan kehadirannya, tetapi di sisi lain, aku hanya ingin pergi, melindungi

hatiku dari luka yang semakin dalam. 

Semakin lama aku terjebak dalam perasaan ini, semakin

sulit rasanya untuk melangkah maju. Dulu, aku yang

memutuskan untuk pergi. Bukan karena aku sudah tak

punya rasa, tetapi karena aku ingin menjaga hatiku yang

sering terasa sesak. Dalam hatiku, aku berharap dia akan

berubah, bahwa mungkin suatu hari dia akan kembali.

Tapi ternyata hidup punya rencana lain. Kini, dia

berjalan berdampingan dengan orang lain, sementara aku

masih diam, terperangkap dalam kenangan yang sesekali

datang tanpa permisi. 

Aku tahu, melangkah ke depan itu nggak mudah. Setiap

senyuman, setiap isyarat kecil darinya, selalu

menggoyahkan tekadku untuk benar-benar melepaskan.

Namun, aku sadar, mungkin ini saatnya. Saatnya aku

mencintai diriku sendiri lebih banyak, mengubur luka

perlahan, dan percaya bahwa waktu akan

menyembuhkan semua ini. Lalu ada satu momen yang tak pernah kuduga, terjadi di

acara organisasi. Di tengah keramaian, dia tiba-tiba

merangkul pundakku dan menyuruhku maju ke depan

saat sesi foto bersama. Gurat wajahnya tetap

sama—tenang, ramah, seperti dulu, seakan tidak pernah

ada jarak di antara kami. Tapi di dalam hatiku, badai

kecil kembali bergolak. 

Keesokan harinya, aku masih memikirkan momen itu.

Aku mencoba mengabaikannya, berpura-pura bahwa itu

tidak berarti apa-apa. Namun, saat aku sedang tenggelam

dalam pikiranku sendiri, sebuah pesan darinya muncul di

ponselku. 

*"Kamu baik-baik aja nggak? Kayaknya kemarin kamu

kelihatan beda."* 

Aku syok membaca pesan itu. Ada apa ini? Bukankah

segalanya sudah selesai di antara kami? Aku berusaha

menghindar, membalas pesannya dengan singkat. Tapi

dia tidak menyerah. 

*"Cerita aja. Aku tahu ada sesuatu yang kamu pendam.

Kamu nggak harus pura-pura kuat di depan aku."* Pesannya itu membuat pertahananku runtuh. Aku

menyerah. Dengan jujur, aku akhirnya mengatakan apa

yang selama ini sulit untuk kuakui. 

*"Aku nggak bisa bohong. Aku belum bisa lupain kamu.

Nggak ada yang bisa gantiin kamu, meskipun aku sudah

mencoba."* 

Mengirim pesan itu terasa berat, tapi sekaligus

melegakan. Untuk pertama kalinya, aku berkata jujur

tentang apa yang benar-benar kurasakan. Yang tak

kusangka, dia membalas dengan lembut, sesuatu yang

tidak pernah kuduga. 

*"Aku juga nggak lagi dekat sama siapa-siapa. Aku pikir

aku bisa baik-baik aja tanpamu, tapi ternyata nggak

segampang itu."* 

Kalimat itu mengguncang hatiku. Ternyata, selama ini

kami sama-sama berpura-pura kuat, sama-sama

menyangkal perasaan yang masih ada. Tapi di satu sisi,

aku tahu, cinta saja mungkin tidak cukup. Ada luka yang perlu disembuhkan, ada jarak yang sudah terlanjur

tercipta. 

Namun, malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu

yang lama, aku merasa bebanku sedikit lebih ringan.

Bukan karena semuanya selesai, tapi karena aku

akhirnya bisa mengungkapkan apa yang selama ini

kusimpan. Dan di balik semua kerumitan ini, ada satu

harapan kecil—bahwa suatu hari, baik dengan atau

tanpanya, aku akan menemukan bahagia yang sejati. 

Aku membaca pesannya berulang kali. Entah kenapa,

setiap kata yang dia tulis terasa menenangkan, meskipun

ada keraguan kecil yang bersembunyi di sudut hatiku.

Bagian dari diriku ingin percaya lagi, meski bayangan

rasa sakit di masa lalu masih membayangi. 

Sejak hari itu, kami mulai sering berbalas pesan lagi. Dia

menanyakan kabarku, mendengarkan ceritaku dengan

penuh perhatian seperti dulu. Aku juga, pelan-pelan,

mulai mencoba membuka ruang di hatiku untuknya,

meskipun kali ini aku lebih berhati-hati. Tidak ada janji, tidak ada label, tidak ada ekspektasi. Hanya obrolan

sederhana yang terasa hangat. 

Hubungan kami kini terasa berbeda. Tidak lagi seperti

dulu yang penuh tuntutan atau keharusan. Kami seperti

dua hati yang sedang mencari jalan, jalan untuk saling

menemukan kembali, atau mungkin hanya untuk saling

menguatkan tanpa memaksa. 

Aku tidak tahu bagaimana cerita ini akan berakhir.

Apakah ini awal dari sesuatu yang baru atau hanya jeda

singkat sebelum kami benar-benar melangkah ke arah

yang berbeda. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk tidak

terlalu memikirkan akhirnya. 

Yang aku tahu, aku hanya ingin menikmati prosesnya.

Menghargai setiap percakapan, setiap momen yang kami

ciptakan, tanpa terbebani masa lalu atau masa depan.

Karena mungkin, di sinilah pelajaran terbesar untukku:

mencintai tanpa takut kehilangan, dan membiarkan

segalanya mengalir apa adanya.

Komentar

Postingan Populer